Senin, 31 Oktober 2011

UTS Etika Bisnis

Akuisisi Merek, Jalan Pintas Penuh Risiko
Posted By admin On December 18, 2007 @ 12:00 am In Business Update
http://agusbaktiono.dosen.narotama.ac.id/

.Akuisisi merek adalah sebuah pertaruhan yang tak mudah. Namun, di tengah tekanan besar
kalangan investor terhadap dunia usaha untuk terus berkembang — suatu hal yang sering tak
gampang dipenuhi hanya dengan pertumbuhan organik — strategi yang satu ini merupakan
alternatif menarik. Apalagi, banyak bukti menunjukkan bahwa dengan mengandalkan (merger
dan) akuisisi, sebuah perusahaan dapat melakukan lompatan kuantum, bahkan mengibarkan diri
jadi yang terbesar.

Ambil contoh General Motors (GM). Kampiun asal Detroit ini mampu mengalahkan pionir produksi
massal produk otomotif, Ford Motor Co., bahkan mengibarkan diri jadi perusahaan manufaktur
terakbar melalui akuisisi beragam merek di berbagai belahan dunia. Jejak (merger dan) akuisisi
tersebut terlihat jelas dari portofolio merek yang mereka miliki. Zafira yang di Amerika Serikat
dipasarkan di bawah bendera Chevrolet, misalnya, di Eropa saja mengusung lebih dari satu
bendera  termasuk Opel (di Jerman) dan Vauxhall (di Inggris). Di Australia, produk
multipurpose vehicle andalan GM ini dipasarkan sebagai Holden Zafira.

Belakangan, GM (dan Ford Motor Co. yang juga menawarkan produk khusus untuk setiap negara,
walau menggunakan merek Ford) terpuruk di tengah pasang naik industri otomotif Jepang. Sukses
Toyota, Nissan, Honda, dan lain-lain ini membuat banyak pakar mempertanyakan ampuhnya
akuisisi merek  bahkan merger dan akuisisi (M & A) secara umum.
Kita lihat saja, berbeda dari para kampiun otomotif Detroit yang menawarkan produk khusus buat
setiap negara (atau kawasan) yang mereka masuki, tulis John A. Quelch di Harvard Business
Review (HBR), “Entah karena tak paham adanya perbedaan regional dalam preferensi
konsumen atau percaya diri yang kuat, Toyota, Nissan dan Honda menjajakan produk-produk
terstandar di bawah satu payung merek tunggal.†Dengan strategi ala Coca-Cola (atau
Disney) ini, masih menurut Quelch yang mengutip Theodore Levitt, profesor Harvard lainnya yang
sekitar seperempat abad lalu menulis di majalah yang sama, “Para samurai otomotif
Jepang itu bisa lebih memfokuskan diri untuk menawarkan apa yang diinginkan oleh setiap
konsumen di dunia: modernitas kelas dunia dengan harga terjangkau.â€Â

Sementara itu, selama sekian dasawarsa, GM (juga Ford) menyesuaikan platform manufaktur,
fitur dan model untuk setiap negara yang berbeda. Dengan demikian, terjadi peningkatan biaya di
hampir seluruh mata rantai nilai tambah  dari manufaktur dan supply chains sampai
promosi dan upaya pemasaran lainnya  yang lalu mendongkrak harga sampai di luar
kesediaan konsumen buat membayarnya. Selain itu, segmentasi yang disengaja itu juga
melahirkan birokrasi yang merugikan, di mana para manajer regional melebih-lebihkan perlunya
penyesuaian lokal untuk kepentingan mereka sendiri. Buntutnya, pangsa pasar tergerogoti pesaing
sehingga kinerja keuangan dan harga saham GM (dan Ford) terus merosot.
Berjayanya Toyota dan sebangsanya itu merupakan bukti bahwa strategi ala Coca-Cola secara
inheren lebih unggul ketimbang strategi multimerek?

Untuk industri otomotif, dan mungkin durable goods lain yang kompleks dan dijajakan secara
massal tapi cukup mahal, positioning yang seragam di seluruh dunia boleh jadi memberikan
advantage lebih ketimbang customization yang mencoba memenuhi selera pasar kawasan.
Maklum, dengan menawarkan produk terstandar di bawah satu payung merek tunggal, akan lebih
mudah terbentuk skala ekonomi besar yang membuat proses bisnis lebih efisien. Dan, sepanjang
memenuhi kebutuhan esensial konsumen  itu tadi, world-class modernity at affordable
prices  bisa dipastikan produk terstandar tersebut bakal menarik minat cukup banyak
pembeli.

Di industri elektronik, keunggulan strategi ala Coca-Cola ini dibuktikan oleh Samsung dan LG.
Mengusung nama perusahaan sekaligus sebagai merek tunggal, kedua chaebol Korea ini mampu
menembus dominasi para samurai industri elektronik Jepang. Betul, kemerosotan Sony dan
Matsushita, penjaga gawang utama industri elektronik dunia, ikut memuluskan jalan Samsung dan
LG menuju ke puncak. Namun, kalau dianalisis lebih lanjut, ketidakmampuan kedua samurai
industri elektronik Jepang tersebut  terutama Sony yang biasanya sangat inovatif
 merespons kemajuan luar biasa teknologi, karena mereka kelewat sibuk dengan
mainan baru, merek Hollywood yang mereka akuisisi.

Masuknya Sony ke industri peranti lunak (konten, dalam bentuk film dan, terutama, musik) ini
membuat mereka enggan mengadopsi format teknologi populer, misalnya MP3, yang dapat
memfasilitasi pembajakan. Dari satu sisi, upaya mencegah terpukulnya bisnis peranti lunak yang
mereka miliki ini dapat dimengerti. Sayangnya, kebijakan tersebut yang memasung inovasi
sehingga justru Apple  perusahaan komputer personal  yang meluncurkan
“Walkman abad ke-21.†Padahal, sebelum era iPod ini, Sony selalu terdepan dalam
inovasi, bahkan penciptaan kategori, produk.
Lebih dari itu, perhatian Sony yang terpecah ke peranti lunak juga membuat samurai industri
elekronik asal Tokyo ini luput mengantisipasi kemajuan teknologi digital, plasma dan LCD. Dan,
ketika akhirnya mereka meluncurkan produk-produk abad ke-21 tersebut, kedua chaebol Korea,
terutama Samsung, telah melompat jauh ke depan. Matsushita yang lalu melego bisnis peranti
lunaknya juga terlambat melakukan pembenahan. Baru, setelah babak belur di banyak pasar,
samurai bisnis yang dulu dijuluki “Toyotanya industri elektronik†ini
mengonsolidasikan merek yang dimilikinya jadi Panasonic dengan menghapus merek lain yang
mereka miliki, termasuk National dan Technics.

Kendati demikian, Samsung atau Toyota tak pernah bisa mematikan para kampiun semacam Bang
& Olufsen (B & O), jawara industri elektronik stylish dari Denmark, atau Porsche, jawara sedan
sport kelas atas asal Jerman. Membidik kalangan superkaya dengan produk premium, kedua
pemain ceruk ini bukan sekadar bertahan hidup, melainkan tumbuh subur di lahan bisnis yang
sempit tetapi memberikan margin laba gemuk.
Tak mengherankan kalau para jagoan industri kelas massal  di hampir seluruh sektor
industri  yang ingin menikmati pasar premium atau superpremium mengupayakan
merek yang eksklusif. Di industri otomotif, beberapa pemain seperti Toyota dan Honda
melakukannya dengan meluncurkan merek sendiri, yaitu Lexus (Toyota) dan Acura (Honda). Akan
tetapi, kebanyakan produsen kendaraan roda empat ini lebih suka mengambil jalan pintas melalui
akuisisi. Sebagai contoh, Volkswagen mengambil alih merek Bentley. Ford bahkan mencaplok dua
merek: Volvo dan Jaguar.
Masih kurang? Kampiun industri otomotif kelas premium pun lebih suka menggunakan merek yang
telah punya reputasi besar buat menembus pasar superpremium ketimbang membangun merek
sendiri. BMW, misalnya, pada 1998 mengakuisisi Rolls-Royce. Sebelumnya, Daimler AG yang tak
lain adalah produsen Mercedes-Benz mengakuisisi Maybach yang, ketika diluncurkan kembali pada
2002, langsung jadi pesaing utama Rolls-Royce bersama Bentley.
Di industri produk konsumer, keberhasilan Coca-Cola meraksasa dengan hanya mengandalkan
merek tunggal boleh dibilang merupakan keberuntungan sejarah dan, karenanya, kekecualian
yang langka. Sebagai pionir produk minuman kola, Coca-Cola bukan sekadar merek melainkan
menjadi gaya hidup, bahkan budaya. Inilah yang menjadikan Coca-Cola  dan Disney di
industri hiburan  sulit dilawan dengan strategi satu merek tunggal yang sama.
Kendati demikian, bukan berarti model bisnis Coca-Cola tak punya kelemahan. Tak mampu
menumbangkan dominasi si Merah di pasar minuman kola, PepsiCo menyerbu melalui kategori
minuman ringan lain. Kalah dalam “Perang Cola†, PepsiCo si Biru memperluas jadi
“Perang Soda†, bahkan lalu jadi lebih luas lagi: “Perang Minuman
Kemasan.â€Â
Kelewat bangga dengan dominasi di minuman kola, Coca-Cola tak kelewat memperhatikan
manuver PepsiCo. Jauh sebelum si Merah menyadari, PepsiCo telah meluncurkan produk air
minum dalam kemasan dan menjenuhi pasar minuman olah raga. Saat ini, Aquafina (milik
PepsiCo) berkibar di puncak dengan Dasani (milik Coca-Cola) jauh tertinggal di belakang.
Gatorade bahkan menggenggam 80% pasar minuman olah raga, membuat Powerade harus puas
dengan 15% pangsa pasar.
Di luar bisnis minuman, PepsiCo jadi kampiun bisnis makanan siap saji dengan KFC, Pizza Hut dan
Taco Bell-nya. Ditambah bisnis makanan ringan yang menguasai merek-merek kelas dunia
sekaliber Frito-Lay dan bisnis makanan sehat bersenjatakan Quaker Oats, PepsiCo saat ini,
menurut The Economist, “Hanya mengandalkan 20% revenue dari minuman, dibandingkan
Coca-Cola yang 80% dari minuman.†Dan secara keseluruhan, kapitalisasi pasar PepsiCo
telah menyalip Coca-Cola, musuh bebuyutannya.
Dari mana PepsiCo mendapatkan Gatorade, Quaker Oats, dan sebagainya itu?
Jawabnya: melalui akuisisi. Dan untuk prestasi besarnya tersebut, PepsiCo harus berterima kasih
kepada … Coca-Cola, atau tepatnya pemegang saham terbesar perusahaan pesaing tersebut yang
tak lain adalah Warren Buffett.

Ulasan : 

Pengertian Merger dan Akuisisi, Merger adalah penggabungan dua perusahaan menjadi satu, dimana perusahaan yang me-merger mengambil/membeli semua assets dan liabilities perusahaan yang di-merger dengan begitu perusahaan yang me-merger memiliki paling tidak 50% saham dan perusahaan yang di-merger berhenti beroperasi dan pemegang sahamnya menerima sejumlah uang tunai atau saham di perusahaan yang baru (Brealey, Myers, & Marcus, 1999, p.598). Definisi merger yang lain yaitu sebagai penyerapan dari suatu perusahaan oleh perusahaan yang lain. Dalam hal ini perusahaan yang membeli akan melanjutkan nama dan identitasnya. Perusahaan pembeli juga akan mengambil baik aset maupun kewajiban perusahaan yang dibeli. Setelah merger, perusahaan yang dibeli akan kehilangan/berhenti beroperasi (Harianto dan Sudomo, 2001, p.640).
Akuisisi adalah pengambil-alihan (takeover) sebuah perusahaan dengan membeli saham atau aset perusahaan tersebut, perusahaan yang dibeli tetap ada. (Brealey, Myers, & Marcus, 1999, p.598).

Jenis-jenis Merger dan Akusisi

Menurut Damodaran 2001, suatu perusahaan dapat diakuisisi perusahaan lain dengan beberapa cara, yaitu :
a. Merger
Pada merger, para direktur kedua pihak setuju untuk bergabung dengan persetujuan para pemegang saham. Pada umumnya, penggabungan ini disetujui oleh paling sedikit 50% shareholder dari target firm dan bidding firm. Pada akhirnya target firm akan menghilang (dengan atau tanpa proses likuidasi) dan menjadi bagian dari bidding firm.

Alasan-alasan Melakukan Merger dan Akuisisi
Ada beberapa alasan perusahaan melakukan penggabungan baik melalui merger maupun akuisisi, yaitu :

a. Pertumbuhan atau diversifikasi
b. Meningkatkan dana  
c. Menambah ketrampilan manajemen atau teknologi 

Kelebihan dan Kekurangan Akuisisi
Kelebihan Akuisisi
Keuntungan-keuntungan akuisisi saham dan akuisisi aset adalah sebagai berikut:
a. Akuisisi Saham tidak memerlukan rapat pemegang saham dan suara pemegang saham sehingga jika pemegang saham tidak menyukai tawaran Bidding firm, mereka dapat menahan sahamnya dan tidak menjual kepada pihak Bidding firm.
b. Dalam Akusisi Saham, perusahaan yang membeli dapat berurusan langsung dengan pemegang saham perusahaan yang dibeli dengan melakukan tender offer sehingga tidak diperlukan persetujuan manajemen perusahaan.
c. Karena tidak memerlukan persetujuan manajemen dan komisaris perusahaan, akuisisi saham dapat digunakan untuk pengambilalihan perusahaan yang tidak bersahabat (hostile takeover).
d. Akuisisi Aset memerlukan suara pemegang saham tetapi tidak memerlukan mayoritas suara pemegang saham seperti pada akuisisi saham sehingga tidak ada halangan bagi pemegang saham minoritas jika mereka tidak menyetujui akuisisi (Harianto dan Sudomo, 2001, p.643-644).

Kekurangan Akuisisi
Kerugian-kerugian akuisisi saham dan akuisisi aset sebagai berikut :
a. Jika cukup banyak pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui pengambilalihan tersebut, maka akuisisi akan batal. Pada umumnya anggaran dasar perusahaan menentukan paling sedikit dua per tiga (sekitar 67%) suara setuju pada akuisisi agar akuisisi terjadi.
b. Apabila perusahaan mengambil alih seluruh saham yang dibeli maka terjadi merger.
c. Pada dasarnya pembelian setiap aset dalam akuisisi aset harus secara hukum dibalik nama sehingga menimbulkan biaya legal yang tinggi. (Harianto dan Sudomo, 2001, p.643)


http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/07/merger-dan-akuisisi-pengertian-jenis.html  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar